Misteri dan Kontroversi Luka-Luka Pada Jenazah 7 Pahlawan Revolusi
“…only in four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years…”
(Bertrand Russell, 1966)
(Bertrand Russell, 1966)
!!! WARNING GRAPHIC CONTENT !!!
!!! PERHATIAN GAMBAR MEMILUKAN !!!
Meski sudah puluhan tahun lamanya, namun peristiwa tragis pemberontakan partai G 30 S / PKI 1965 yang diberitakan dan diisyukan akan mengudeta negeri ini tak akan pernah terlupakan. Peristiwa tersebut masih banyak menimbulkan kenangan pahit dan banyak pertanyaan daripada jawabannya.
Untuk mengenang jasa dan pengorbanan tak ternilai dari ketujuh Pahlawan Revolusi dan juga untuk memperingati serta mengenang peristiwa tersebut agar tak pernah ada lagi, maka kami akan menguak sedikit dari banyaknya tandatanya-tandatanya besar yang masih tersimpan di saku tiap rakyat Indonesia yang tercinta ini yang belum terjawab.
Mungkin ada benarnya kata pepatah, jika kita berada diwilayah orang yang sangat-sangat berkuasa dimana informasi apapun sangat-sangat terbatas dan penuh rekayasa, maka terkadang kebenaran akan terungkap belakangan karena kebenaran takkan pernah hilang, walau terlihat “seperti hilang” oleh waktu.
A. Kronologi Pengangkatan Jenazah Dari Dalam Sumur
Mengangkat jenazah tujuh pahlawan revolusi di Lubang Buaya bukan perkara gampang. Kondisi sumur yang dalam dan mayat yang mulai membusuk, membuat evakuasi sulit dilakukan.
Tapi para prajurit Kompi Intai Amfibi Korps Komando Angkatan Laut (KIPAM KKO-AL), tak mau menyerah.
Sebenarnya jenazah sudah ditemukan sejak sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1965, atas bantuan polisi Sukitman dan masyarakat sekitar.
Peleton I RPKAD yang dipimpin Letnan Sintong Panjaitan segera melakukan penggalian.
Tapi mereka tak mampu mengangkat jenazah karena bau yang menyengat.
Jenderal Soeharto pun memerintahkan kepada pasukan evakuasi bahwa penggalian dihentikan pada malam hari.
Maka penggalian pun ditunda dan penggalian akan kembali dilanjutkan keesokan harinya.
Dalam buku Sintong Panjaitan, perjalanan seorang prajurit para komando yang ditulis wartawan senior Hendro Subroto, dilukiskan peristiwa seputar pengangkatan jenazah.
Kala itu Sintong berdiskusi dengan Kopral Anang, anggota RPKAD yang dilatih oleh Pasukan Katak TNI AL.
Anang mengatakan peralatan selam milik RPKAD ada di Cilacap, hanya KKO yang punya peralatan selam di Jakarta.
Maka singkat cerita, KKO meminjamkan peralatan selam tersebut untuk operasi pengangkatan jenazah dari dalam lubang sumur di daerah lubang Buaya tersebut.
Tanggal 4 Oktober, Tim KKO dipimpin oleh Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto melakukan evakuasi jenazah pahlawan revolusi. Satu persatu pasukan KKO turun ke dalam lubang yang sempit itu.
Pukul 12.05 WIB, anggota RPKAD Kopral Anang turun lebih dulu ke Lubang Buaya. Dia mengenakan masker dan tabung oksigen. Anang mengikatkan tali pada salah satu jenazah. Setelah ditarik, yang pertama adalah jenazah Lettu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Nasution.
Pukul 12.15 WIB, Serma KKO Suparimin turun, dia memasang tali pada salah satu jenazah, tapi rupanya jenazah itu tertindih jenazah lain sehingga tak bisa ditarik.
Pukul 12.30 WIB, giliran Prako KKO Subekti yang turun. Dua jenazah berhasil ditarik, Mayjen S Parman dan Mayjen Suprapto.
Pukul 12.55 WIB, Kopral KKO Hartono memasang tali untuk mengangkat jenazah Mayjen MT Haryono dan Brigjen Sutoyo.
Pukul 13.30 WIB, Serma KKO Suparimin turun untuk kedua kalinya. Dia berhasil mengangkat jenazah Letjen Ahmad Yani. Dengan demikian, sudah enam jenazah pahlawan revolusi yang ditemukan.
Sebagai langkah terakhir, harus ada seorang lagi yang turun ke sumur untuk mengecek apakah sumur sudah benar-benar kosong.
Tapi semua penyelam KKO dan RPKAD sudah tak ada lagi yang mampu masuk lagi. Mereka semua kelelahan.
Bahkan ada yang keracunan bau busuk hingga terus muntah-muntah.
Maka Kapten Winanto sebagai komandan terpanggil melakukan pekerjaan terakhir itu. Dia turun dengan membawa alat penerangan.
Ternyata benar, di dalam sumur masih ada satu jenazah lagi. Jenazah itu adalah Brigjen D.I. Panjaitan.
Dengan demikian lengkaplah sudah jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD yang dinyatakan telah hilang diculik Gerakan PKI pada tanggal 30 September 1965.
Kapten KKO Winanto sendiri terus melanjutkan karirnya di TNI AL. Lulusan Akademi Angkatan laut tahun 1959 ini pernah menjabat Komandan Resimen Latihan Korps Marinir, Komandan Brigade Infanteri 2/Marinir sebelum pensiun sebagai Gubernur AAL.
Ia sudah meninggal pada Minggu, 2 September 2012 pukul 22.15 WIB dalam usia 77 tahun di kediamannya Jl Pramuka no 7, Kompleks TNI AL, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara militer di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
B. Kronologi Visum et Epertum Dokter Forensik
4 Oktober 1965. Pukul 4.30 sore saat itu. Lima dokter yang diperintahkan Pangkostrad dan Pangkopkamtib Mayor Jenderal Soeharto memulai tugas mereka.
Jenazah enam Jenderal dan satu perwira menengah korban penculikan dan pembunuhnan yang dilakukan kelompok Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu persatu. Ketujuh korban itu adalah:
Jenazah enam Jenderal dan satu perwira menengah korban penculikan dan pembunuhnan yang dilakukan kelompok Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu persatu. Ketujuh korban itu adalah:
1. Ahmad Yani, Letnan Jenderal (Menteri Panglima Angkatan Darat).
2. R. Soeprapto, Mayor Jenderal. (Deputi II Menpangad).
3. MT. Harjono, Mayor Jenderal. (Deputi III Menpangad).
4. S. Parman, Mayor Jenderal. (Asisten I Menpangad).
5. D. Isac Panjaitan, Brigardir Jenderal. (Deputi IV Menpangad).
6. Soetojo Siswomihardjo, Brigardir Jenderal. (Oditur Jenderal/ Inspektur Kehakiman AD).
7. Pierre Andreas Tendean, Letnan Satu. (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH Nasution).
Jenazah enam jenderal dan satu perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede, Jakarta Timur. Dari lima anggota tim dokter yang mengautopsi ketujuh mayat itu dua di antaranya adalah dokter Angkatan Darat, yakni:
1. dr. Brigardir Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat)
2. dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat)
Sementara tiga lainnya adalah dokter Kehakiman, masing-masing:
3. Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK UI)
4. dr. Liauw Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI)
5. dr. Liem Joe Thay (atau dikenal sebagai dr. Arief Budianto, lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), anda dapat membaca kisahnya di akhir halaman ini)
Akhirnya lewat tengah malam, pukul 12.30 atau dinihari pada tanggal 5 Oktober 1965, dr. Roebiono dkk menyelesaikan tugas mereka. Beberapa jam kemudian, saat matahari sudah cukup tinggi, ketujuh jenazah korban penculikan dan pembunuhan yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi ini, dimakamkan di TMP Kalibata.
C. Hasil Visum et Repertum Jenazah Tiap Korban
Ketika diperiksa ketujuh mayat telah dalam keadaan membusuk dan diperkirakan tewas empat hari sebelumnya. Dapat dipastikan ketujuh perwira tinggi dan pertama Angkatan Darat ini tewas mengenaskan dengan tubuh dihujani peluru dan tusukan.
1. Ahmad Yani (Menteri Panglima Angkatan Darat).
Jenazah Letjen Ahmad Yani diidentifikasi oleh Ajudan Menpangad Mayor CPM Soedarto dan dokter pribadinya, Kolonel CDM Abdullah Hassan, dengan penanda utama parut pada punggung tangan kiri dan pakaian yang dikenakannya serta kelebihan gigi berbentuk kerucut pada garis pertengahan rahang atas diantara gigi-gigi seri pertama.
Tim dokter menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Sementara di bagian perut terdapat dua buah luka tembak yang tembus dan sebuah luka tembak yang tembus di bagian punggung.
a. Info dari Indo Leaks
Sebelumnya, dokumen visum et repertum Ahmad Yani yang dirilis Indoleaks juga hanya menyebutkan luka tembak.
Padahal Orde Baru mencatat kalau PKI telah mencungkil mata Pahlawan Revolusi itu.
2. R. Soeprapto (Deputi II Menpangad)
Jenazah Mayjen R. Soeprapto diidentifikasi oleh dokter gigi RSPAD Kho Oe Thian dari susunan gigi geligi sang jenderal.
Pada jenazah R. Soeprapto ditemukan:
(a) tiga luka tembak masuk di bagian depan,
(b) delapan luka tembak masuk di bagian belakang,
(c) tiga luka tembak keluar di bagian depan,
(d) dua luka tembak keluar di bagian belakang,
(e) tiga luka tusuk,
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasaan tumpul di bagian kepala dan muka,
(g) satu luka karena kekesaran tumpul di betis kanan, dan
(h) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat sekali di daerah panggul dan bagian atas paha kanan.
(b) delapan luka tembak masuk di bagian belakang,
(c) tiga luka tembak keluar di bagian depan,
(d) dua luka tembak keluar di bagian belakang,
(e) tiga luka tusuk,
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasaan tumpul di bagian kepala dan muka,
(g) satu luka karena kekesaran tumpul di betis kanan, dan
(h) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat sekali di daerah panggul dan bagian atas paha kanan.
a. Indoleaks: Ternyata Saat Wafat, Organ Tubuh Letnan Jenderal Soeprapto Masih Utuh!
Letjen Suprapto adalah pahlawan revolusi yang menjadi korban pembunuhan G30 S PKI pimpinan DN Aidit dan Kolonel Untung. Beliau lahir di Purwokerto 20 Juni 1920 dan wafat di Lubang Buaya 1 Oktober 1965.
Pendidikan umum yang berhasil ia tamatkan adalah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yakni pendidikan setingkat SMP dan AMS (Algemne Middelberge School) yaitu pendidikan setingkat SMA.
Suprapto pernah mengikuti pendidikan militerKoninklijke Militaire Akademie di Bandung namun tidak tamat karena pendudukan Jepang.
Pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh.
Hingga meredupnya peristiwa tersebut, tak ada lagi yang membahasnya karena kini telah sibuk oleh brainwashed dunia lainnya dan mulai menganggap bahwa sejarah sudah lewat dan bukanlah apa-apa lagi. Padahal melalui sejarah, kita dapat belajar, karena sejarah adalah fakta, dan fakta adalah sejarah. Sejarah adalah track record.
b. Dokumen Visum et Repertum Letjen Suprapto
Kisah sadis menyertai peristiwa G30S PKI dalam sejarah yang dicatat Orde Baru. Letjen Anumerta R Soeprapto misalnya, disebut disilet-silet dan dipotong alat kelaminnya. Namun sebuah dokumen visum et repertum yang dirilis situs whistle blower Indoleaks, menunjukkan hal yang berbeda.
Dari situs resminya yang dikeluarkan sejak beberapa tahun lalu, Senin (13/12/2010), ada lagi sebuah dokumen visum et repertum yang dibuat oleh 4 dokter RSPAD yaitu dr Roebino Kertopati, dr Frans Pattiasina, dr Sutomo Tjokronegoro, dr Liaw Yan Siang, dr Lim Joe Thay, pada 5 Oktober 1965. Bagian nama, tempat tanggal lahir, pangkat, jabatan dan alamat sengaja dihitamkan.
Tampak dokumen Visum et repertum oleh dokter dituliskan pro justitia. Bahwa sumpah pro justitia tidak boleh bohong, tidak boleh menambah, tidak boleh mengurangi. Apa kenyataan itu, harus dimasukkan dalam visum et repertum itu harus jadi pegangan, sebab ini satu kenyataan, bukan khayalan.
Namun dari deskripsi luka, diduga kuat bahwa dokumen itu adalah dokumen visum et repertum Letjen TNI Anumerta R Soeprapto. Data pembandingnya adalah keterangan visum Letjen R Soeprapto yang pernah disebutkan dalam makalah pakar politik Indonesia dari Cornell University, AS, Ben Anderson, pada jurnal ‘Indonesia‘ edisi April 1987.
Ada kain sarung dan kemeja yang melekat pada korban. Ada beberapa persamaan dan banyak juga perbedaan antara luka Letjen Soeprapto versi Orde Baru dan dokumen visum yang asli. Berbeda dengan Ahmad Yani, Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya. Dia baru gugur di Lubang Buaya.
Dalam versi Orde Baru dan juga dilansir Harian Berita Yudha 9 Oktober 1965, wajah dan tulang kepala Soeprapto remuk namun masih dapat diidentifikasi. Hasil visum juga menunjukkan kalau ada luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
Nah, justru perbedaannya yang mencolok. Versi TNI menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban, bahkan memotong alat kelamin korban. Namun, rupanya dalam dokumen yang diungkap Indoleaks, hal itu tidak terbukti.
Laporan visum untuk Soeprapto, selain patah/retak tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan dan paha kanan.
Luka benda tumpul diduga batu atau popor senapan. Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari bayonet dan bukan silet. Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada luka lagi. Tidak ada bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.
Pembunuhan Letjen Soeprapto tentu saja tragis, namun tidak sesadis yang dijabarkan dalam catatan sejarah versi Orde Baru.
Ia juga salah satu perwira TNI yang menolak pembentukan angkatan kelima yang diusulkan PKI sehingga menjadi target pembunuhan PKI bersama Ahmad Yani, MT Haryono, DI Pandjaitan,Sutoyo Siswo Miharjo dan S.Parman.
d. Perbandingan Informasi
Mari kita coba kembali flashback dari info diatas mengenai janazah Soeprapto, menurut info dari ABRI dan Indo Leaks.
i. Versi Orba dan TNI:
- Wajah dan tulang kepala Soeprapto remuk namun masih dapat diidentifikasi.
- Luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
- Menurut versi TNI menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban, bahkan memotong alat kelamin korban.
- Luka dan pukulan benda tumpul yang menyebabkan patah tulang di bagian kepala dan muka.
- Menurut versi TNI menyebutkan ada pengakuan anggota Gerwani, bahwa mereka menyilet-nyilet korban, bahkan memotong alat kelamin korban.
ii. Versi Indoleaks:
- Ada kain sarung dan kemeja yang masih melekat pada korban.
- Jenderal Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya.
- Dalam dokumen yang diungkap Indoleaks, Jendral ini tak disilet-silet, dan alat kelamin korban tak dipotong.
- Terdapat patah/retak tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan dan paha kanan. Luka benda tumpul diduga batu atau popor senapan.
- Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari bayonet dan bukan silet.
- Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada luka lagi. Tidak ada bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.
- Jenderal Soeprapto masih hidup saat diculik dari rumahnya.
- Dalam dokumen yang diungkap Indoleaks, Jendral ini tak disilet-silet, dan alat kelamin korban tak dipotong.
- Terdapat patah/retak tulang tengkorak di enam titik, adalah patah tulang di betis kanan dan paha kanan. Luka benda tumpul diduga batu atau popor senapan.
- Soeprapto memang mengalami 3 luka tusuk, namun dari bayonet dan bukan silet.
- Soeprapto juga gugur akibat 11 luka tembak di berbagai bagian tubuh. Selain itu tidak ada luka lagi. Tidak ada bukti penyiletan apalagi mutilasi alat kelamin.
3. MT. Harjono (Deputi III Menpangad)
Di bagian perut Mayjen MT. Harjono ditemukan sebuah luka tusuk benda tajam yang menembus sampai ke rongga perut. Luka tusuk benda tajam juga ditemukan di punggung, namun tidak menembus rongga dada. Dan di tangan kiri dan pergelangan tangan kanan terdapat luka karena kekerasan tumpul yang berat.
Jenazah Mayjen MT. Harjono diidentifikasi oleh saudara kandungnya, MT. Moeljono, pegawai Perusahaan Negara Gaya Motor. Salah satu tanda pengenal jenazah ini adalah cincin kawin bertuliskan “Mariatna”, nama sang istri.
Cincin kawin, bertuliskan “SPM” juga menjadi salah satu penanda jenazah Mayjen S. Parman, selain kartu tanda anggota AD dan surat izin mengemudi serta foto di dalam dompetnya.
4. S. Parman (Asisten I Menpangad)
Jenazah S. Parman diidentifikasi oleh dr. Kolenel CDM Abdullah Hasan.
Pada mayat S. Parman ditemukan:
(a) tiga luka tembak masuk di kepala bagian depan,
(b) satu luka tembak masuk di paha bagian depan,
(c) satu luka tembak masuk di pantat sebelah kiri,
(d) dua luka tembak keluar di kepala,
(e) satu luka tembak keluar di paha kanan bagian belakang, dan
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat di kepala, rahang dan tungkai bawah kiri.
(b) satu luka tembak masuk di paha bagian depan,
(c) satu luka tembak masuk di pantat sebelah kiri,
(d) dua luka tembak keluar di kepala,
(e) satu luka tembak keluar di paha kanan bagian belakang, dan
(f) luka-luka dan patah tulang karena kekerasan tumpul yang berat di kepala, rahang dan tungkai bawah kiri.
5. D. Isac Panjaitan (Deputi IV Menpangad)
Mayat Brigjen DI. Panjaitan diidentifikasi oleh adiknya, Copar Panjaitan dan Samuel Panjaitan, dan dikenali dari pakaian dinas yang dikenakannya serta cincin mas di tangan kiri yang bertuliskan “DI. Panjaitan”.
Tim dokter menemukan luka tembak masuk di bagian depan kepala, juga sebuah luka tembak masuk di bagian belakang kepala. Sementara itu di bagian kiri kepala terdapat dua luka tembak keluar. Terakhir, di punggung tangan kiri terdapat luka iris.
6. Soetojo Siswomihardjo (Oditur Jenderal/ Inspektur Kehakiman AD).
Mayat berikutnya adalah Brigjen Soetojo Siswomihardjo yang diidentifikasi oleh adiknya, dokter hewan Soetopo. Jenazah Brigjen Soetojo dikenali dari kaki kanannya yang tidak ber-ibujari, pakaian yang dikenakannya, arloji merek Omega dan dua cincin emas masing-masing bertuliskan “SR” dan “SS”.
Pada mayat Brigjen Soetojo ditemukan:
(a) dua luka tembak masuk di tungkai bawah kanan bagian depan,
(b) sebuah luka tembak masuk di kepala sebelah kanan yang menuju ke depan,
(c) sebuah luka tembak keluar di betis kanan sebagian tengah,
(d) sebuah luka tembak keluar di kepala sebelah depan, dan
(e) tangan kanan dan tengkorak retak karena kekerasan tumpul yang keras atau yang berat.
(b) sebuah luka tembak masuk di kepala sebelah kanan yang menuju ke depan,
(c) sebuah luka tembak keluar di betis kanan sebagian tengah,
(d) sebuah luka tembak keluar di kepala sebelah depan, dan
(e) tangan kanan dan tengkorak retak karena kekerasan tumpul yang keras atau yang berat.
7. Pierre Andreas Tendean (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH Nasution)
Selanjutnya adalah mayat Lettu P. Tendean yang dikenali perwira kesehatan Dirkes AD CDM Amoro Gondoutomo yang menjadi dokter pribadi Menko Hankam/KASAB.
Mayat P. Tendean dikenali dari pakaian yang dikenakannya, gigi geligi dan sebuah cincin logam dengan batu cincin berwarna biru.
Pada mayat P. Tendean tim dokter menemukan:
(a) empat luka tembak masuk di bagian belakang,
(b) dua luka tembak keluar bagian depan,
(c) luka-luka lecet di dahi dan tangan kiri, dan
(d) tiga luka ternganga karena kekerasan tumpul di bagian kepala.
(b) dua luka tembak keluar bagian depan,
(c) luka-luka lecet di dahi dan tangan kiri, dan
(d) tiga luka ternganga karena kekerasan tumpul di bagian kepala.
D. Format Dokumen Visum et Repertum 7 Jenazah Korban
Dokumen visum et repertum ketujuh korban yang saya peroleh dituliskan dalam format yang sama. Di pojok kanan atas halaman depan terdapat tulisan “Departmen Angkatan Darat, Direktortat Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, Pro Justicia”.
Sementara di pojok kiri halaman depan tertulis “Salinan dari salinan.”
Bagian kepala laporan bertuliskan “Visum et Repertum” diikuti nomor laporan pada baris bawah yang dimulai dari H.103 (Letjen Ahmad Yani) hingga H.109 (Lettu P. Tendean).
Bagian awal laporan adalah mengenai dasar hukum tim dokter tersebut. Pada bagian ini tertulis rangkaian kalimat sebagai berikut:
“Atas perintah Panglima Kostrad selau Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, dengan surat perintah tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima, nomor PRIN-03/10/1965 yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal TNI Soeharto, yang oleh Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat diteruskan kepada kami yang bertandatangan di bawah ini.”
Diikuti nama dan jabatan kelima dokter anggota tim. Setelah itu adalah bagian yang menjelaskan kapan dan dimana visum et repertum dilakukan. Pada bagian ini tertulis kalimat:
“maka kami, pada tanggal empat Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu limam mulai jam setengah lima sore sampai tanggal lima Oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima jam setengah satu pagi, di Kamar Seksi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, Jakarta, telah melakukan pemeriksaan luar atas jenazah yang menurut surat perintah tersebut di atas adalah jenazah dari pada.”
Bagian ini diikuti oleh bagian berikutnya yang menjelaskan jati diri jenazah dimulai dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, bangsa, agama, pangkat, dan terakhir jabatan.
Selanjutnya ada sebuah paragraph yang menjelaskan kondisi terakhir jenazah sebelum ditemukan dan diperiksa. Pada bagian ini tertulis:
“Korban tembakan dan/atau penganiayaan pada tanggal satu Oktober tahun seribu sembilan ratus enam pulu lima pada peristiwa apa yang dinamakan Gerakan 30 September.”
Bagian ini dikuti oleh penjelasan identifikasi; siapa yang mengidentifikasi dan apa-apa saja tanda utama yang dijadikan patokan dalam identifikasi itu.
Setelah bagian indentifikasi, barulah tim dokter memaparkan temuan mereka dari “hasil pemeriksaan luar” yang dilakukan terhadap jenazah sebelum mengkahirinya dengan “kesimpulan”.
Keterangan gambar atas: Diorama penyiksaan para Jenderal dan Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta (klik untuk memperbesar, sumber gambar: insulinda.wordpress.com)
Bagian penutup diawali dengan tulisan “Dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah jabatan” pada bagian kanan. Diikuti nama dan tanda tangan serta cap kelima dokter anggota tim.
Bagian paling akhir dari dokumen-dokumen yang saya peroleh ini mengenai autentifikasi dokumen. Karena dokumen ini merupakan “salinan dari salinan” maka ada dua penanda autentifikasi dokumen ini.
Bagian pertama bertuliskan “Disalin sesuai aslinya” dan ditandatangani oleh “Yang menyalin” yakni Kapten CKU Hamzil Rusli Bc. Hk. (Nrp. 303840) selaku panitera.
Bagian kedua autentifikasi bertuliskan “Disalin sesuai dengan salinan” dan ditandatangani oleh “Panitera dalam Perkara Ex LKU” Letnan Udara Satu Soedarjo Bc. Hk. (Nrp. 473726). Namun tidak ditemukan petunjuk waktu kapan dokumen ini disalin dan disalin ulang.
E. Kisah dr. Arif yang Ikut Mengotopsi Mayat Tujuh Pahlawan Revolusi 1965 (oleh T. Santosa)
Di atas kursi roda, mengenakan kaos oblong putih dan sarung biru bergaris-garis, Lim Joe Thay duduk terdiam. Bibirnya mengatup, sering kedua telapak tangannya ditangkupkan di depan dada dan sekali-sekali diletakkan di atas paha. Rambutnya telah memutih sempurna. Dia tak banyak bicara. Kalau pun bersuara, kata-katanya terdengar sayup dan samar.
Bulan Juni 2008 yang lalu, dr. Arif sempat dirawat di RS St. Carolus. Ketika menerima kabar itu dari salah seorang kerabat dr. Arif, saya dan Dandhy menyempatkan diri menjenguknya.
Di RS. St. Carolus kami sama-sama mengabadikan dr. Arif. Bedanya, Dandhy menggunakan video kamera merek Panasonic, sementara saya menggunakan kamera saku digital merek Canon.
Tadinya, informasi yang kami terima menyebutkan bahwa dr. Arif terkena serangan struk. Setelah kami bertemu dengan beliau di paviliun St. Carolus, dan berbicara dengan istrinya, Ny. Arif, barulah kami ketahui bahwa dr. Arif dirawat karena terjatuh saat hendak naik ke kursi rodanya.
Sekali waktu laki-laki yang kini berusia 83 tahun itu bergumam. Mumbling. Saya mencoba menangkap isi ceritanya. Tidak jelas. Terpotong-potong, patah-patah. Kalau disambungkan seperti cerita tentang sepasukan tentara yang bergerak di sebuah tempat, entah di mana. Tapi cerita itu tak tuntas. Dia menutup sendiri ceritanya, mengalihkan pandangan mata ke sembarang arah, sebelum kembali menenggelamkan diri dalam diam.
Di saat yang lain, dia kembali menanyakan nama saya. Dan kalau sudah begini, saya memegang tangannya, menyebutkan nama saya sambil menatap matanya. Setelah itu senyumnya sedikit mengembang.
Dikenal dengan nama dr. Arief Budianto, tak banyak yang menyadari Lim Joey Thay adalah tokoh penting. Sangat penting, bahkan.
Dia adalah satu dari segelintir orang yang berada di titik paling menentukan dalam sejarah negara ini setelah Proklamasi 1945.
Lim Joey Thay yang ketika itu adalah lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) merupakan satu dari lima ahli forensik (lihat daftar dokter diatas halaman) yang berdasarkan perintah Soeharto memeriksa kondisi ketujuh mayat tersebut sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, siang hari 5 Oktober.
Kini dari lima anggota tim otopsi itu, tinggal Lim Joey Thay dan Liu Yang Siang yang masih hidup.
Lim Joey Thay kini sakit-sakitan, sementara sejak beberapa tahun lalu, Liu Yan Siang menetap di Amerika Serikat dan tidak diketahui pasti kabar beritanya.
Berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka berlima bekerja keras selama delapan jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
Keterangan gambar atas (klik untuk memperbesar): Para pengikut partai PKI yang ditangkap sedang dijaga ABRI (kiri). Sebelum dibunuh para korban diarak warga menuju tempat pembantaian (kanan).
Sedangkan beberapa tahun lalu, Benedict Anderson telah menggunakan hasil visum et repertum ini sebagai rujukan dalam artikelnya di jurnal Indonesia Vol. 43, (Apr., 1987), pp. 109-134, How Did the Generals Die?
Saya mendapatkan copy visum et repertum itu dari Dandhy DL, jurnalis RCTI. Tahun lalu, dia juga menurunkan liputan mengenai dr. Arif dan visum et repertum ketujuh pahlawan revolusi korban, meminjam istilah Bung Karno, intrik internal Angkatan Darat dan petualangan petinggi PKI yang keblinger, serta konspirasi nekolim.
Keterangan gambar atas (klik untuk memperbesar): Para korban pembantaian diinterogasi terlebih dahulu agar memberitahukan siapa lagi yang ikut PKI (kiri). Sebelum dibantai, para korban disuruh untuk menggali liang lahatnya sendiri (kanan).
Ketujuh pahlawan revolusi itu jelas mati dibunuh. Namun dari hasil otopsi yang mereka lakukan sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda pencungkilan bola mata, atau apalagi, pemotongan alat kelamin seperti yang digosipkan oleh media massa yang dikuasai Angkatan Darat ketika itu.
Gosip mengenai pemotongan alat kelamin, bahkan ada gosip yang menyebutkan ada anggota Gerwani yang setelah memotong alat kelamin salah seorang korban, lantas memakannya– telah membangkitkan amarah di akar rumput.
Gosip-gosip ini, menurut Ben Anderson dalam artikelnya yang lain (saya sedang lupa judulnya) sengaja disebarkan oleh pihak militer.
Keterangan gambar atas (klik untuk memperbesar): Sebelum dibunuh, korban dipertontonkan dimuka umum (kiri). Dengan kondisi tali melingkar di leher dan tangan terikat, korban masuk ke liang lahat pembantaian yang digali oleh calon korban sendiri (tengah). Eksekutor mengatur posisi korban sebelum pembantaian (kanan).
Maka gosip-gosip dan propaganda-propaganda yang dihembuskan dengan kuat tersebut bagai minyak tanah yang disiramkan ke api. Menyambar-nyambar. Membuat rakyat marah, bahkan sangat marah.
Selanjutnya, pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI dan/atau siapa saja yang dituduh menjadi anggota PKI atau memiliki relasi dengan PKI, terjadi di mana-mana, seantero Indonesia.
Keterangan gambar atas (klik untuk memperbesar): Eksekutor mengatur para calon korban pembantaian yang kebanyakan masih remaja (kiri). Tampak eksekutor menghujamkan pisau bayonet berkali-kali ke tubuh korban pembantaian yang terikat tanpa daya itu satu demi satu sehingga korban mati perlahan karena rusaknya organ dalam dan kehabisan darah, suasana sadis itu bahkan ditonton dimuka umum termasuk anak-anak kecil (kanan).
Bahkan walau tak masuk PKI, namun semua masyarakat yang mencintai Bung Karno dapat juga menjadi korbannya. Hanya dengan memajang foto atau lukisan sang Proklamator saja, maka sudah cukup bukti bagi anda dan akan merasakan akibatnya, dituduh sebagai PKI walau tanpa bukti-bukti lain.
Dengan hanya berbekal foto Bung Karno yang dipajang di dinding rumah, sudah cukup membuat tentara-tentara menyeret anda keluar rumah menuju ke dalam liang lahat pada masa itu!
Masih ingatkah anda, ada 2 jilid buku ukuran besar berjudul “Dibawah Bendera Revolusi” tulisan Bung Karno?
Buku tersebut sempat hilang diperedaran setelah era Orde Baru (New World Order) mulai berkuasa. Tak ada yang berani mengeluarkannya dari dalam lemari atau laci, semua tersimpan rapi.
Dulu, karena hanya dengan memiliki buku itupun, sudah cukup bukti bagi tentara untuk dapat menyeret anda masuk ke liang lahat.
Oleh sebab itulah, setelah rezim Orde Baru tumbang di tahun 1998, sepasang buku “Dibawah Bendera Revolusi” tulisan Bung Karno tersebut kembali marak.
Untuk buku asli cetakan pertama pada masa lalu itu harganya sangat tinggi, bahkan untuk sepasang buku Jilid-1 dan Jilid-2 dan keduanya adalah cetakan pertama yang asli harganya antara 25 juta hingga bisa mencapai ratusan juta rupiah! Namun buku yang tak boleh beredar pada masa Orde Baru tersebut pada masa kini sudah dicetak kembali.
Keterangan gambar atas (klik untuk memperbesar): Tampak korban pembantaian yang tewas ditusuk lalu mayatnya dibiarkan dipinggir jalan (kiri). Tampak korban yang telah tewas dan masih tergantung di pohon masih dipukul-pukuli dengan kursi didepan masyarakat umum termasuk anak-anak kecil (kanan).
Catatan tidak resmi menyebutkan setidaknya 500 ribu hingga 3 juta orang tewas dalam pembantaian massal yang terjadi hanya dalam beberapa tahun itu.
Namun pada masa itu, tak ada satupun media yang berani menyatakan kira-kira banyaknya korban pembantaian ini secara terbuka.
Media pada masa itu benar-benar harus pro pemerintah (mirip di A.S. sekarang – pen) dan semua media harus menyaring informasi yang akan dicetak untuk masyarakat Indonesia.
Pada tanggal 22 November 2011 lalu, sekitar pukul 19.00 WIB, akhirnya dr. Lim Joe Thay atau Arief Budianto meninggal dunia dengan tenang.
Pria berusia 85 tahun itu menghembuskan nafas terakhir di kediamannya di Jalan Johar Baru, Salemba, Jakarta Pusat.
Oleh karenanya, saksi sejarah itu pun ikut serta membawa kenangan pahit Indonesia tentang sejarah visum et repertum ketujuh Pahlawan Revolusi Indonesia, yang mungkin masih banyak ia sembunyikan di dalam pikirannya saja. Maka sebagian besar kebenaran sejarah pun ikut terkubur bersamanya.
Daftar tokoh yang meninggal dalam pembersihan anti-komunis Indonesia
Berikut adalah daftar tokoh penting di Indonesia yang hilang, terbunuh atau dihukum mati pada masa pembantaian terduga komunis 1965-1966 di Indonesia pasca Gerakan 30 September tahun 1965.
- Chaerul Saleh, pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri, wakil perdana menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966. Salah satu pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok (meninggal 1967 sebagai tahanan).
- D.N. Aidit, ketua PKI (meninggal dibunuh 1965).
- Lettu Doel Arif, tokoh kunci dalam penculikan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang diduga akan membentuk Dewan Jenderal oleh PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (hilang).
- Lukman Njoto, Menteri Negara pada masa pemerintahan Soekarno dan wakil Ketua CC PKI yang sangat dekat dengan D.N. Aidit (ditangkap 1966 dan hilang).
- Ibnu Parna, politisi fraksi PKI, pemimpin Partai Acoma, dan aktivis buruh (dibunuh).
- Muhammad Arief, pencipta lagu “Genjer-genjer” (dibunuh).
- M.H. Lukman, Wakil Ketua CC Partai Komunis Indonesia. (dihukum mati 1965)
- Ir. Sakirman, petinggi Politbiro CC PKI dan kakak kandung dari Siswondo Parman, salah satu korban yang diculik meninggal dalam peristiwa G30S (hilang).
- Brigjen Soepardjo, Komandan TNI Divisi Kalimantan Barat yang memiliki peran penting dalam peristiwa Gerakan 30 September (dihukum mati).
- Sudisman, anggota Politbiro CC PKI (dihukum mati).
- Syam Kamaruzzaman, tokoh kunci G30S dan orang nomor satu di Politbiro PKI yang bertugas membina simpatisan PKI dari kalangan TNI dan PNS (dijatuhi hukuman mati 1968, dieksekusi 1986).
- Letkol Untung Syamsuri, Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun 1965 (dihukum mati 1969).
- Trubus Soedarsono, pematung dan pelukis naturalis Indonesia (dibunuh).
- Wikana, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, bersama Chaerul Saleh dan Sukarnitermasuk dalam pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok. (hilang)
Lima Versi Utama Peristiwa G30S/PKI
Hingga kini siapa dalang di balik peristiwa Gerakan 30 September (G30S) masih diselimuti mendung tebal. Namun, peristiwa coup d’etat yang disertai penculikan 6 jenderal Angkatan Darat (AD) itu tetap menggugah untuk diperdebatkan dan dicari kebenarannya.
Sejarah memang tidak mengenal kata akhir, kata sejarawan Cornell University, Amerika Serikat (AS), Dominick LaCapra.
Pasca jatuhnya New Order atau Orde Baru, versi tunggal milik pemerintah, yang menyatakan PKI sebagai dalang G30S, digugat (tapi kini akronim “G30S/PKI” diwajibkan kembali dalam buku pelajaran sejarah SMP-SMA).
Sejak saat itu, tinjauan sejarah terhadap peristiwa kelabu tersebut kembali mendapat ‘angin surga’. Berbagai fakta baru tertungkap dan sejumlah versi pun bermunculan.
Namun, setidaknya ada 5 versi mainstream yang tetap bertahan mengenai peristiwa yang berbuntut pada pembantaian sekitar 500 ribu simpatisan PKI–paling tragis di Jawa dan Bali–hingga 1967 itu. Versi lain sebenarnya cukup bertebaran, tapi umumnya merupakan sempalan dari kelima analisa pokok tersebut.
1. Versi Pertama, adalah versi Angkatan Darat yang didukung oleh pemerintah otoriter Soeharto.
Tahun 1994, sekretariat negara menerbitkan buku putih berjudul “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya”.
Secara jelas, buku tersebut menuduh bahwa PKI-lah yang menjadi pelaku kup.
Versi ini menjadi “the final and the whole truth”serta haram untuk dibantah selama puluhan tahun!
Namun, sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mencatat, kalau buku putih itu dibaca dengan seksama, akan diperoleh kesimpulan yang tentu tidak diharapkan oleh pembuatnya.
Mengapa bisa begitu? Karena ternyata banyak nama yang disebutkan secara berulang-ulang hingga ratusan kali.
Cara penulisan dalam buku ini mungkin sengaja dibuat untuk mengalihkan inti permasalahan dan memfokuskan pembaca hanya pada tokoh-tokoh yang disebut berkali-kali tersebut agar terjadi pengontrolan pemikiran dan pembaca terbius, ibarat doktrin.
Terdapat indeks nama sebanyak 306 orang tokoh dalam buku itu. Dan beberapa diantaranya disebut secara berulang-ulang:
1) Presiden Soekarno disebut 128 kali,
2) Dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali), dan
3) Dua kubu perwira ABRI (107 kali).
Sedangkan dalam ‘indeks kata penting’, tiga kata yang paling sering muncul adalah:
1) Gerakan Tiga Puluh September,
2) Dewan Revolusi,
3) Dewan Jenderal.
Sedangkan kata ‘PKI’ justru hanya disebut dua kali.
Jadi, buku ini lebih berbicara tentang tokoh PKI (atau menurut istilah Orde Baru, oknum)
Oknum tersebut yaitu Aidit dan Syam, ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi sosial-politik,” kata Asvi (Majalah TEMPO edisi 2-8 Oktober 2000).
2. Versi Kedua, datang dari kolega LaCapra, B.R.O.G Anderson dan Ruth McVey yang dikenal sebagai ‘Cornell Paper’.
Tahun 1966, dua Indonesianis terkemuka itu menerbitkan tulisan berjudul “A Preliminary Analysis of The October 1, 1965: Coup in Indonesia,”.
Tulisan yang lebih dikenal dengan sebutan “Cornell Paper” itu menyatakan bahwa PKI tidak memainkan peran sama sekali dalam kup.
A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (bahasa Indonesia: Analisis Awal Kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia), atau lebih umum dikenal sebagai Cornell Paper ini adalah publikasi ilmiah yang mengungkapkan kegagalan kudeta oleh Gerakan 30 September dengan sangat rinci.
Artikel ini dipublikasikan pada tanggal 10 Januari 1966. Studi paper ini ditulis oleh Benedict Anderson and Ruth Mcvey, dengan pertolongan Frederick Burnell, dengan menggunakan informasi dari berbagai sumber berita Indonesia pada saat itu.
Pada saat paper ini ditulis, ketiga orang ini adalah anggota dari Ikatan Alumni Universitas Cornell dan adalah ahli dalam bidang sejarah Asia Tenggara.
Dalam paper ini Anderson dan Mcvey memaparkan teori bahwa PKI maupun Sukarno tidak terlibat dalam gerakan kudeta ini; bahkan mereka adalah korban dari gerakan ini.
Berdasarkan informasi dan dokumen-dokumen yang Anderson dan McVey gunakan, mereka memberikan teori bahwa kudeta adalah sebuah masalah internal dalam tentara yang bertujuan menggeser beberapa jendral yang dikatakan bekerja sama dengan CIA.
Dalam waktu seminggu Gerakan 30 September diberantas oleh Mayor Jendral Suharto, yang mengambil alih pertanggung jawaban untuk menggalakkan keamamanan.
Paper ini juga mengajukan alternative teori yang akhirnya ditolak. Salah satu diantaranya adalah teori yang didukung secara resmi oleh pemerintah Indonesia sampa saat ini yaitu PKI adalah dalang dari kudeta ini.
Publikasi ini awalnya dirahasiakan, tetapi bocor pada tanggal 5 Maret 1966 dengan munculnya artikel di Koran The Washington Post oleh jurnalis Joseph Kraft.
Sampai tahun 1971, Cornell menolak aksess ke publikasi ini dan artikel ini banyak disalahgunakan atau diinterpretasikan tidak benar.
Permintaan kepada pemerintah Indonesia untuk menyumbangkan dokumen-dokumen tambahan yang berhubungan dengan kejadian kudeta ditolak oleh pemerintah Indonesia.
Akhirnya paper ini dipublikasikan pada tahun 1971 tanpa tambahan apa-apa. Sejak publikasi resmi, paper ini menjadi bahan analisa dan juga bahan koreksi.
Jadi, menurut paper ini PKI tidak mempunyai motif apa pun untuk melakukan kudeta, karena partai pimpinan Aidit ini telah menikmati keuntungan yang besar di bawah pemerintah Soekarno.
Kup yang dilakukan sangat cepat itu adalah murni persoalan internal AD. “Kudeta gagal” tersebut, kata Prof. Emeritus Benedict Anderson alias Soebeno alias Bargowo dari Cornell University, USA dan juga McVey, dipicu oleh kesenjangan yang dirasakan oleh beberapa kolonel divisi Diponegoro, Semarang.
Kolonel seperti Untung, Supardjo, serta Latief kecewa atas kepemimpinan AD di pusat yang dianggap tercemar oleh gemerlap kehidupan Jakarta serta lemah sikap anti-komunisnya. Akhirnya ketiga orang itu lalu melancarkan pemberontakan.
3. Versi Ketiga, adalah kesimpulan dari John Hughes dan Antonie C.A. Dake.
Hughes melalui bukunya “The End of Soekarno”(1967) berpendapat bahwa Presiden Soekarno-lah yang justru bertanggung jawab atas semua rangkaian peristiwa kelam itu.
Menurutnya, tindakan Untung menciptakan Gerakan 30 September adalah atas dasar restu dari Soekarno.
Sedangkan Antonie C.A. Dake dalam bukunya“Soekarno File, Berkas-berkas Soekarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan” mengatakan bahwa mastermind dari G30S adalah Soekarno.
Tulisan di dalam buku Antonie C.A. Dake yang muncul sekitar tahun 2006 lalu tersebut langsung mendapat reaksi cukup keras dari keluarga Soekarno.
4. Versi Keempat, menurut Wertheim, Guru Besar Universitas Amsterdam
Guru Besar Universitas Amsterdam, Wertheim punya pandangan lain mengenai G30S yang kemudian menjadi versi keempat.
Ia mengatakan, kuat dugaan bahwa Soeharto berada di balik kup tersebut.
Hal itu didasari oleh pertanyaan simpel, mengapa Soeharto tidak menjadi target penculikan?
Soeharto, yang juga berasal dari Kodam Diponegoro, tidak puas dengan kepemimpinan AD di bawah Ahmad Yani yang lemah terhadap PKI.
Hal keterlibatan Soeharto ini juga didukung oleh kedekatannya dengan Latief, pemimpin gerakan. Latief diketahui menjenguk anaknya Soeharto, yaitu Tommy Soeharto yang sedang sakit sebelum terjadinya kup.
5. Versi Kelima, dikembangkan oleh Peter Dale Scott.
Peter Dale Scott dari University of California, Berkeley, mensinyalir keterlibatan pihak asing, khususnya AS melalui Central Intelligence Agency (CIA). (lihat videonya dibawah mengenai “Black Operation” atau klik disini)
Scott berusaha menarik hubungan antara kepentingan CIA dengan penggulingan Soekarno serta kedekatan badan intelijen AS tersebut dengan AD pada waktu itu.
Menurutnya, Gestapu, respons yang ditunjukkan Seharto dengan mengambil alih keadaan, serta pertumpahan darah, adalah skenario AD untuk merebut kekuasaan.
Soeharto dikatakannya bermuka dua, seolah-olah memihak status quo, namun sebenarnya punya rencana untuk menumbangkan Soekarno.
Jadi, hampir seluruh penelitian maupun kesaksian dari pelaku yang diterbitkan belakangan ini memiliki kecenderungan satu dari 5 tesis di atas.
Entah sampai kapan misteri peristiwa yang menjadi pertanda beralihnya rezim Soekarno ke Soeharto itu akan terbuka secara utuh, sehingga tidak ada lagi pertanyaan yang muncul.
Akan tetapi sejarah memang akan terus hidup, karena ia adalah dialog antara masa lalu dan masa kini.
Maka, sejarah yang selalu ditulis oleh sang pemenang, kembali menuai banyak partanyaan tambahan, namun kini ikut terkubur.
No comments:
Post a Comment